Integritas Ide dan Gagasan dalam Mewujudkan Sinergitas Gerakan

HMI KONSTRUKTIF

(Integritas Ide dan Gagasan dalam Mewujudkan Sinergitas Gerakan)

Oleh: Hadi Hermawan

(Kabid PTKP HMI Cabang Tasikmalaya periode 2011-2012)

 

 Sudah enam bulan lebih (satu semester) perahu Himpunan kita berlayar di tengah lautan Ummat dan samudra Bangsa, di tengah indah dan megahnya sukapura Tasikmalaya. Banyak yang sudah tertoreh dalam catatan sejarah Himpunan kita, banyak yang sudah kita lakukan untuk perbaikan. Meski terkadang gulungan ombak yang besar menghantam perahu yang kita tumpangi, tetapi semangat dan optimisme Yakin Usaha Sampai kita selalu menjadi daya dorong dan kekuatan besar yang mampu menghadapi setiap hantaman dan badai yang mencoba menggoyang perahu dan komitmen kita dalam mewujudkan visi kemandirian organisasi.

Jika kita mencoba untuk merenung dan berfikir akan apa yang sudah kita lakukan pada semester pertama kemarin, rasanya masih banyak hal yang perlu dan harus selalu kita benahi dalam melakukan perbaikan kedepan. Rekonstruksi kesadaran, penegasan identitas berfikir serta progresifitas gerakan harus senantiasa menjadi wacana di setiap langkah dan aktifitas Himpunan kita sehingga pada akhirnya tujuan bersama untuk mendaratkan idealisme organisasi dapat terrwujud.

Berangkat dari paradigma di atas, maka beberapa hal yang menjadi catatan penulis yang juga menjadi bahan evaluasi untuk perbaikan kedepan adalah:

Pertama, dalam dunia organisasi kita hidup dan di dewasakan dalam dua realitas yang bersifat simbiosis mutualis yakni realitas kultural dan realitas structural. Kultur berorganiosasi yang baik akan berdampak positif pada eksistensi serta bangunan structural, begitu pula kinerja struktur yang baik akan berdampak positif pada kultur berorganisasi. Sebab yang satu bersifat alamiah (kultur) dan yang satu bersifat ilmiah (struktur). Namun tanpa mengurangi rasa bangga akan hasil kinerja organisasi pada semester pertama kemarin, nampaknya telah terjadi kesenjangan kalau tidak dikatakan berbenturan pada dua relaitas penopang organisasi tersebut. Hal ini dapat dilihat dan dirasakan dari adanya kesenjangan antara teradisi intelektual dengan tradisi gerakan himpunan. Nilai-nilai intelektual hanya melekat pada jargon dan identitas bidang, sehingga gerak yang dihasilkan bukan dari peroses ilmiah melainkan bersifat alamiah yang berwujud dalam bentuk simbolik dari eksistensi bidang.

Kedua, Bahwa organisasi bukanlah tujuan, melainkan hanya alat untuk mencapai tujuan atau alat untuk melaksanakan tugas pokok. Berhubungan dengan itu susunan organisasi haruslah selalu disesuaikan dengan perkembangan tujuan atau perkembangan tugas pokok. Organisasi adalah wadah serta proses kerjasama sejumlah manusia yang terikat dalam hubungan formal. Dalam organisasi selalu terdapat rangkaian hirarki, artinya dalam suatu organisasi selalu terdapat apa yang dinamakan atasan dan apa yang dinamakan bawahan. Demikian doktrin keorganisasian yang di ajarkan Himpunan kita. Sebuah teori yang mupuni untuk untuk mewujudkan visi organisasi himpunan. Namun dalam realitasnya pendekatan ke arah nilai-nilai substantif  organisasi, khususnya dalam pencapain kepada visi dan misi kemandirian Himpunan kita di Tasikmlaya ini masih sangat jauh. Hal yang menjadi indikator akan kesenjangan teori organisasi dengan realitas berorganisasi tersebut adalah adanya disorientasi dalam pemaknaan organisasi. Kalau Himpunan kita memiliki tujuan, maka sebagai pengurus hendaknya memposisikan diri sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut. Logikanya jika pengurus sebagai alat pengolah dan sekaligus pengelola organisasi tidak di pelihara baik dalam sisi intelektual maupun ekonomi, maka konsekuensi logis yang akan timbul adalah 2 hal. Pertama, tujuan organisasi sulit kalo tidak dikatakan tidak akan tercapai. Sebab alat yang digunakan tidak produktif, kedua karena alat organisasi yang digunakan bukan benda mati, melainkan manusia aktif maka hal yang logis kalau si alat ini memlihara dirinya sendiri dengan jalan menjadikan organisasi sebagai legitimasi sosial dalam memenuhi kebutuhannya. Paradigma perjuangan yang kan muncul adalah bukan demi himpunan melainkan semua akan bergerak dengan legitimit bahsa atas nama himpunan. Dengan demikian maka himpunan kita di semester kemarin tidak lebih dari sebuah pabrik yang tidak menghasilkan produksi, sekalipun ada produk yang di hasilkan maka itu tidak lebih dari sekedar menjaga eksistensi organisasi di mata public apalagi dengan alasan pencitraan  (sudah 64 tahun berdiri, masih bicara pencitraan…..basi kaleee! Ayo berkarya nyata!!!).

Konsep Teoritis

Ide dan gagasan Ketua Umum yang kemudian berwujud menjadi visi dan misi Himpunan kita untuk periode 2010-2011 yaitu trilogi  kemandirian (kemandirian intelektual, kemandirian gerakan dan kemandirian finansial). Visi yang sangat bagus dan adanya sinergitas jika makna kemandirian kita korelasikan dengan sifat organisasi kita yakni Independen sebgaimana yang tertuang dalam Anggaran Dasar organisasi . Meunurut hemat penulis, ketiga variable visi tersebut tidak hanya di bangun di atas pondasi simbiosis mutualis dimana satu sama lain saling berkaitan sebagaimana yang dijabarkan ketua umum. Namun mesti ada satu diantara yang tiga ini yang menjadi perioritas yang akan berefek pada dua visi kemandirian yang lainnya. Dalam hal ini menurut penulis yang harus jadi perioritas utama adalah Kemandirian Intelektual. Adapun yang menjadi alasan sekaligus pendekatan perioritas tersebut ada 2 hal. Pertama, pendekatan historis (sejarah). HMI berdiri pada Tahun 1947 bukan hanya karena realitas sosial yang sedang terpuruk waktu itu, sebab banyak organisasi ataupun elemen masyarakat yang lain yang menyadari akan keterpurukan sosial tersebut. Namun yang menjadi penopang kuat HMI berdiri di Republik ini adalah kekhasan intelektualnya dalam merespon dinamika keummatan dan kebangsaan. Bahakan sampai saat ini HMI masih eksis karena masih memiliki kekhasan (ciri/identitas) tersebut sehingga masih dapat berdialektika dengan realitas sosial di negri ini. Kedua, pendekatan realitas sosial keorganisasian yang ada di Tasikmalaya. Jika kita melihat banyaknya organisasi kemasyarakatan yang ada di Tasikmalaya tidak akan terhitung jumlahnya. Kehadirannya menjamur bagaikan jamur di musim hujan. Namun jika kita melihat kualitas dan kiprah organisasi/lembaga-lembaga tersebut nyaris tidak kelihatan. Mereka hadir hanya sebatas mengandalkan legitimasi stempel organisasi. Peran dan fungsi mereka yang semestinya menjadi control sosial masyarakat, yang terjadi justru malah menjadi beban buat masyarakat.

Disnilah penulis kira pentingnya HMI memperioritaskan kemandirian intelektual sebagai visi pertama dalam mewujudkan visi kemandirian Himpunan kita di Tasikmalaya. Dengan intelektual yang matang akan melahirkan konsep gerakan yang masif progresif serta eksistensi organisasi akan lebih di segani dan dihargai lebih dari sekedar materi dan financial melainkan juga HMI akan mampu menempati ruang-ruang yang strategis dalam melakukan pengabdian yang lebih realistis di tengah masyarakat.

Konsep Praktis

Transpformasi ide dan gagasan yang lahir dari nilai-nilai sejarah adalah sebuah kemutlakan dalam mewujudkan tujuan organisasi yang lebih baik di masa depan. Kami yakin bahwa selama nilai-nilai independensi atau kemandirian menjadi nafas dan denyut nadi gerak Himpunan, maka selama itu HMI akan tetap eksis di garda depan sebagai wadah  perjuangan umat dan bangsa. Begitulah apresiasi penulis terhadap visi kemandirian organisasi.

Namun yang lebih penting adalah bagaimana mengejawantahkan nilai-nilai kemndirian intelrktual dalam meningkatkan peran fungsi internal organisasi serta dapat memenuhi tuntutan sosial kemasyarakatan. Karena itu, dalam upaya mentranformasikan gagasan di atas, maka bebrapa langkah yang harus dilakukan adalah:

Pertama, masifikasi kajian yang dibangun di atas dua fungsi kerja yaitu internal dan eksternal. Kajian internal focus membahas hal-hal yang berkaitan dengan isu-isu internal orgaisasi baik itu yang berkaitan dengan kepengurusan, evaluasi perkaderan, manajemen keuanagan organisasi,up greading kepengurusan, serta kajian-kajian yang bersifat internal lainnya yang bertujuan untuk meningkatkan prestasi organisasi. Kajian eksternal difokuskan untuk membahas hal-hal yang berkaitan dengan persoalan-persoalan eksternal seperti persoalan kampus,isu-isu kedaerahan, maupun isu-su nasional yang irisannya samapai ke daerah. Hal ini penting disamping untuk meningkatkan prestise juga dalam rangka mengatur regulasi isu yang berkembang sehingga terinpentarisir secara baik dan secara tidak langsung akan menjadi penopang kuat eksisternsi organisasi di tingkat public.

Kedua, membangun jaringan. Eksistensi HMI harus di topang oleh berbagai elemen masyarakat baik di tingkat elit maupun masyarakat bawah. Hal ini merupakan kemestian dalam mereposisi peran strategis HMI di tengah kondisi umat dan bangsa. Namun membangun jaringan tidak hanya berti sebagai alat untuk kepentingan politik yang berujung pada pengakuan dan legitimasi sosial di tengah elit kekuasaan ataupun masyarakat bawah. Namun yang lebih penting dari itu perluasan jaringan harus dibarengi dengan kapasitas intelektual dan kemampuan ide serta gagasan sebagai penyeimbang sekaligus daya tawar HMI sebagai problem solver keummatan dan kebangsaan.

Ketiga, mengingat timbul tenggelamnya eksistensi HMI di bawah (Komisariat), maka langkah yang harus di bangun bukan hanya langkah konstitusional yang berujung pada pembekuan komisariat yang berakibat pada pesimisme berorganisasi. Sebab dalam pandangan penulis kemunduran eksistensi komisariat bukan hanya sebatas persoalan tidak berjalannya konstitusi organisasi melainkan juga di dalamnya terdapat persoalan eksternal yakni gesekan-gesekan sosiokultural yang terjadi di tengah masyarakat mahasiswa. Oleh sebab itu yang lebih penting menurut penulis adalah mesti adanya langkah kongkrit yaitu inventarisir kader yang masih aktif di tiap komisariat. Adapun yang menjadi indicator aktif adalah bukan hanya dalam arti kuantitatif yaitu selalu ikut dalam kegiatan-kegiatan HMI melainkan lebih dari itu adalah aktif dalam arti kualitatif yaitu memiliki visi berorganisasi serta memiliki semangat juang yang tinggi dalam berhimpun di HMI (militan).

Keempat, membangun jaringan di kampus. Hal ini penting mengingat eksistensi HMI yang kurang masif di kampus. Penguasaan HMI di kampus tidak hanya tercermin dalam penguasaan elit birokrasi kampus yang bersifat kuantitatif formalistik dan symbol belaka, melainkan jaringan HMI yang di bangun di kampus harus berdasarkan konsep yang jelas yang terlahir sebagai konsekuensi logis dari ideology perkaderan yang ada di HMI. Eksistensi kader-kader HMI di kampus bukan hanya diwarnai oleh uporia yang bersifat elitis birokratik, melainkan kader-kader HMI harus mampu mewarnai dunia kampus dengan cara menyebarkan virus-virus pembaharuan yang terlahir dari ideology yang dibangunnya.

HMI di kampus harus menjadi pelopor dalam hal gerakan intelektual dan moral sebelum masuk ke gerakan politik praktis. Hal ini bisa dimulai dengan menggalakan kembali kultur diskusi dari mulai tingkat kelas, tingkat fakultas/jurusan, sampai ke tingkat structural kampus (BEM, BLM, SENAT) dan sebagainya. Hal tersebut sangat penting dalam rangka membangun dan mencerahkan kembali ide-ide segar HMI dalam merespon dinamika kemoderenan umat dan bangsa.

Intelektualitas bukan persoalan kapasitas, melainkan tuntutan kita dalam merespon realitas

Tidak ada KEBODOHAN dan KEMISKINAN yang ada adalah PEMBODOHAN dan PEMISKINAN

Maka, Takdir Kita adalah Ikhtiar untuk menjadi KADER yang MERDEKA!!!!

 

Yakin Kita Bisa (YAKIZA)

Sebelum

Yakin Usaha Sampai (YAKUZA)

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                

By Hilmi Husada Dikirimkan di HMI

Tinggalkan komentar